*BUYUT UMAR*
Sebuah Cerpen
Sebuah Cerpen
Oleh : Akhibus Sajidin
Malam itu aku tersungkur didekapan Mak ku, entah hal apa
yang membuatku menjadi tak sadarkan diri seketika menitihkan air mata yang
mengalir di pipiku, di satu sisi Bapakku sedang menyulut rokoknya sehabis
membacai Al-Qur'an yang sudah tidak
bersampul indah lagi hanya benang-benang jahitan jilidan yang tampak dengan
kertas yang mulai mencoklat seperti warna dedaunan yang sudah mengering,. Entah
kenapa aku tidak menanyakan sesuatu kepada ibuku, tidak membeli Al-Qur’an yang
baru dan lebih bagus, sudah berapa tahun Al-Qur'an itu tidak diganti dengan
yang baru dan lebih terang dan jelas tulisannya. Entahlah pertanyaan itu masih
kusimpan sampai dewasaku saat ini dan menjadi tanda tanya besar dalam hidupku.
mengapa bapakku masih menggunakan Al-Qur'an itu yang selalu dibacanya sehabis
sholat maghrib, pada waktu sepertiga malam dan bak'da sholat shubuh padahal ada
Al-Qur’an yang baru dan lebih bagus,?
Kembali ke Pokok cerita, Ibuku mulai mengusap air mataku
yang masih mengucur deras "ojok nangis nang, sesok tak sekolahno (jangan
nangis nak, besok ibu sekolahkan) memang umurku dulu sudah 7 tahun tapi postur
tubuhku dulu pendek cempluk, lambat berkembang tidak seperti teman-teman
sebayaku, seumuran 7 tahun sudah sangat tua untuk masuk kelas 1 SD, dalam
pikirku "aku ingin sekolah, sedangkan mereka yang dibawah umuranku sudah
sekolah duluan, aku tidak mau ketinggalan" semangat dalam jiwaku membara
seperti ada yang membakar di dalamnya.
"Iyo... Mak ngerti,," sambil membelai rambutku dan
mulai menenangkanku
Mak ku mulai membuatku terdiam, seperti biasa jika aku
menangis, Ibu selalu menceritakan sesuatu kepadaku, seperti biasa cerita dari
Mak ku membuat aku tertegun, ibu langsung berkata "Buyutmu Umar". aku
terkejut, nama itu baru pertama kali aku dengar seumur hidupku di telingaku.
"buyut Umar mak?" Tukasku
"ya....Buyutmu Umar"
"siapa Mak buyut umar itu?
"Buyutmu itu, ayah dari kakekmu kasman,"
"Kenapa dengan Buyut umar?" aku mulai
bertanya-tanya seperti mengadili makku saja agar diceritakan semua kisah buyut
umar biar tidak setengah-setengah seperti cerita Ratu Shima Ratunya Jepara
Tempo dulu. Ada yang menarik disini, emakku bercerita sambil menatap ke atas, entah
beliau mengingat kenangan masa lalu bersama mbah buyut atau apa untuk
diceritakan kepadaku.
Tak berselang lama mak ku, mulai asyik menceritakan
kepadaku, laksana seorang pendongeng nasional yang tak mau basa-basi
menceritakan dari inti ke inti.
"Nak, buyutmu Umar itu, orangnya sangat Alim, Kaya dan
dermawan, Kerbaunya saja sampai puluhan, tambak udangnya dimana-mana, sawahnya
apa lagi, dan rumahnya paling besar se kampung ini, sangat indah penuh hiasan
ukiran gaya majapahit dan unsur china ciri khas Jepara, buyutmu umar dulu dikatakan
orang kaya kata masyarakat sini tapi buyutmu selalu bilang kepadaku cucunya
bahwa buyutmu gak punya apa-apa, ini semua hanya titipan dan suatu saat semua
ini hanya akan kembali ke pemiliknya Yaitu Gusti Allah, itu yang Buyutmu selalu
bilang kepada makmu ini nang"
"Loh Mak, buyut itu pada mudanya kerja apa?
"buyutmu itu pada mudanya bekerja Keras kalo waktu laut
rame, buyutmu pergi ke laut nyari ikan, kalau laut lagi sepi, Buyutmu suka
mencari kepiting dari tambak ke tambak, dari hulu sungai ke sungai, dan buyutmu juga disamping sebagai pekerja
keras ibadah Hablumminallah-nya buyutmu gak kalah kerasnya seperti kerjanya”
“Maksudnya Mak? Aku kembali tidak paham apa yang dimaksud
ibuku diak ahir cerita.
“Buyutmu Umar itu orangnya sangat Khusyuk beribadah tidak
setengah-setengah, selalu rajin berjamaah dan suka Tahajjud setiap malam sambil
menangis kayak kamu tadi” aku mulai tersenyum kecil, mak ku mulai menyindirku
tentang tangisanku tadi. Aku masih kurang puas dengan cerita mak ku tersebut,”
“Mak, Buyut itu seorang Kiai yah?” tanyaku lugu
“Bukan, Buyutmu itu orang biasa seperti pada umumnya, tapi
yang membuat mak terkesan dengan buyutmu itu adalah kalau setiap malam Jum’at,
mbah mu pergi Ziarah ke Makam Mbah Sunan Muria di Gunung Muria utara Kudus
sana, tapi tidak pakai gerobak yang didorong Rojo Koyo “sapi” (Jaman dulu belum
ada mobil seperti sekarang) buyutmu itu jalan kaki menyusuri dari sawah ke sawah, desa ke desa berpuluh-puluh
kilo meter ditempuh untuk berziarah ke Makam Mbah Raden Umar Said “Sunan Muria”
anak laki-laki dari Mbah Raden Said “Sunan Kalijaga” didakinya dengan keadaan
Ikhlas semata-mata untuk mengharap Ridho Allah SWT dan atau sekedar mengucapkan
terimakasih kepada mbah sunan karena sudah menyebarkan agama Islam di tanah
jawa ini khusunya jawa tengah”.
“Mak...... apa yang dilakukan mbah buyut disana?” aku mulai bertanya
mendalam mengenai kisah hidup mbah buyutku
“Mbah Buyutmu itu le, setelah pulang dari Ziarah dia
langsung membawa kabar yang menghebohkan kepada anak-anaknya yaitu mbah mu “ Sarminah
dan Kasman, dan anak-anaknya yang lain,”.
“Aku kemaren malam pas waktu berziarah menginap di maqom
sunan muria aku tertidur dan Bermimpi”
“Mimpi apa pak? Tukas mbahmu Kasman
“Ada seseorang yang pakaiannya putih Bersih berwajah tampan
dan bersinar, memakai sorban menyuruhku untuk merangkul Soko (Tiang) penyangga
makam ini, katanya setelah engkau pulang kau akan mendapatkan harta yang cukup
dari Allah SWT seperti apa yang kau Munajatkan kepadaNya. Aku terbangun kaget,
tubuhku berkeringat dan posisiku persis merangkul tiang penyangga makam
tersebut”
“dan akhirnya nang, buyutmu semakin hari semakin hari bertambah
hartanya,” Tegas Mak Ku
Aku melongo seperti terkena hipnotis romi rafa’el yang
selalu membuat ling-lung para pasienya,, Mak ku mulai melanjutkan ceritanya.
“Suatu ketika Buyutmu hendak berangkat Haji, konco-konco
buyutmu tidak percaya bahwa mbah buyutmu hendak melakukan rukun islam yang ke-5
itu”
“Mar, kowe (kamu) mau berangkat haji tah?”
“iyoo..”
“Lha uangmu dari mana, wong miskin seperti itu kok guaya
niru koyok wong sugeh-sugeh”
Tanpa basa-basi mbah buyutmu mengambil uang dari atas jarjes
(loteng), ada barang yang terbungkus sarung entah apa isinya”
“Isinya apa mak?”
“Setelah dibuka Koncone mbahmu terkaget-kaget, Rupanya Isi
dari bungkusan sarung itu adalah segembol uang tabungan buyutmu yang sengaja
disimpan di loteng dibuat untuk berangkat haji dengan naik kapal menyeberangi
lautan selama berbulan-bulan”
Tak terasa dari mulutku mengeluarkan suara
“Subhanallah”.
Dan Makku kembali ke dapur untuk memasak mie Rebus kesukaanku,, dan ayahku kembali
menyulut rokoknya,.sedangkan aku membayangkan jika suatu saat aku tua seperti
buyutku “UMAR” dan bisa melanjutkan perjuangan beliau.
Bojonegoro, 2013
Mak : Ibu
Nang : Panggilan anak laki-laki di
kampung Jepara
Rojo Koyo :
Binatang Ternak
Konco : Teman/kawan
Soko : Tiang Penyangga bangunan
Kowe : Kamu
0 Response to "BUYUT UMAR"
Post a Comment